Jagad raya kaum sufi pernah digemparkan dengan perkataan “Ana al-Haq” oleh tokoh penganut hulul atau tajalli termasyhur, al-Hallaj, yang menyebabkan ia harus tunduk di tiang gantungan. Inipun diikuti oleh Syekh Siti Jenar dengan “Manunggaling kawula gusti”-nya yang telah menggegerkan kerajaan demak sehingga ia harus menyerah untuk di eksekusi. Dan banyak lagi rentetan para tokoh sufi yang mengalami “Sad Ending” dalam mempertahankan idealisme sebuah keyakinan, walau tak separah dua tokoh di atas. Pantheisme itulah ajaran yang mereka fahami. Adalah sang Muhyiddin (yang menghidupkan agama), Ibnu Arabi, mungkin salah satu tokoh yang mujur sehingga ia tidak berakhir tragis walaupun ia dikenal dengan konsep Wahdatul Wujud-nya. Hal ini mungkin karena ia adalah tokoh sufi besar yang pakar merangkai kata-kata dalam bentuk-bentuk simbol sehingga sulit difahami khususnya oleh orang-orang awam. Simbol-simbol itu terlihat sekali hampir dalam semua karya-karyanya, dan inilah kesulitan paling utama dalam membaca karya-karya Ibnu Arabi sehingga tidak kurang dari delapan abad para pembaca banyak yang mengundurkan diri karena tidak mampu memahami arti yang sebenarnya. Oleh karena itu, kita mungkin akan sering mengernyitkan dahi dalam menyusuri ide-ide besarnya, sebuah lompatan pemikiran yang imajinatif dan membingungkan karena didukung oleh terma-terma paradoksikal yang digunakan sehingga banyak tokoh-tokoh setelahnya yang gagal menginterpretasikan doktrin tasawufnya dengan baik. Fatwapun bermunculan, antara yang pro dan yang kontra, bahkan tidak tanggung-tanggung Ibnu Taimiyyah pun turun tangan untuk men-takfir-kan. Pada akhirnya, Ibnu Arabi mendapatkan banyak penghargaan, mulai dari gelar Syaikh al-Akbar, Muhyiddin, sufi liberal yang mengusung pluralisme agama, sampai pada lebel imam kafir dan sesat. Siapakah sebenarnya Ibnu Arabi, dan bagaimana akrobat pemikirannya…?
Ibnu ‘Arabi dan Wahdatul Wujud (Disampaikan pada acara diskusi Bedah buku Orientalis & Diabolisme)
19 Senin Des 2011
Posted Kajian
in